Tuesday, 23 May 2017

Pendidikan Keberagaman dan Konsep Kesederajatan antar Manusia

Tiap hari kita mendengar orang meneriakan persatuan dan kesatuan. Tetapi di hari yang sama mereka menolak keberagaman, menolak segala fenomena yang berbeda dengan agendanya. Ironis, mereka menelantangkan teriakannya sekaligus menodai semangat persatuan dan kesatuan.
Keberanekaragamman yang ada di Indonesia merupakan sebuah realitas, kehendak Tuhan. Hal itu telah disadari sejak lama sehingga lahirlah sumpah pemuda, sumpah untuk bersatu dalam bingkai ke-Indonesiaan dengan memegang erat semangat persatuan.
Merupakan sebuah mukjizat bila sumpah itu bertahan dlam waktu yang lama. Melihat dari sisi keanekaragaman, Indonesia adalah negara kepulauan yang terluas di muka bumi. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, etnisitas, sub-kultur, dan bahasa lokalnya ratusan, suatu keniscayaan.
Dari sisi keragaman budaya ini jika tidak dikelola dengan baik maka bukan hal mustahil bangsa ini terpecah berkeping-keping. Oleh sebab itu, apa yang bernama politik identitas yang sering muncul ke permukaan harus ditangani dan dikawal secara bijak oleh nalar historis secara benar dan cerdas.
Asal-usul suku dan ras merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak ada seorang manusia pun bisa mengintervensinya. Kemerdekaan untuk menentukan warna apa yang disukainya, agama apa yang diyakininya, beserta realitas lainnya. Persatuan merupakan titik temu antar keanekaragaman.
Secara historis, ide pembentukan bangsa Indonesia muncul sekitar tahun 1920-an melalui kegiatan intensif Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, kemudian dikukuhkan didalam Sumpah Pemuda tahun 1928. Selanjutnya, hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, saat dwi tuggal, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, sebuah Negara-bangsa baru muncul di peta dunia.
Mengabaikan keberagaman merupakan tindakan ahistoris sekaligus mengancam soliditas bangsa yang telah lama dijaga dan dikawal bersama-sama. Munculnya politik identitas selain mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia juga tidak sejalan dengan konsensus bersama untuk membangun bangsa di atas lahan multi-identitas.
Yang dibutuhkan saat ini ialah persatuan dan kesatuan bukan penyeragaman. Seragam agama, suku dan rasya. Sebab kalau realitasnya satu dan seragam maka sudah tidak perlu lagi kita membicarakan persatuan dan kesatuan. Kesolidan bangsa Indonesia akan senantiasa di uji karena realitasnya Indonesia memang beraneka ragam, kaya akan perbedaan.
Persatuan dan kesatuan dapat dianggap sebagai salah satu pilar yang menentukan kokohnya rumah bersama yang bernama Indonesia. Jika pilarnya kokoh maka kokoh pula rumahnya, tetapi bila pilar ini keropos maka sudah bisa kita tebak apa yang akan terjadi pada rumah bersama tersebut. Oleh sebab itu, persatuan dan kesatuan ini sangat urgen.
Untuk menunjang persatuan dan kesatuan diperlukanlah suatu sikap kenegarawanan. Sikap ini oleh Emha Ainun Nadjib, cendekiawan sekaligus budayawan, diibaratkan sebagai seorang empu yang seluruh jasadnya manunggal bersama kepentingan bangsa. Tidak ada lagi ego pribadi, bahwa aku-lah yang lebih dari yang lain, tidak ada lagi kepentingan individu dalam dirinya. Mengakui orang lain sama dengan dirinya sebagai manusia.
Persatuan dan kesatuan adalah upaya sungguh-sungguh dari setiap individu yang memerlukan keluasan jiwa utuk menerima segala realitas yang berbeda dengan dirinya. Mengakui perbedaan-perbedaan menuntut kita untuk berlaku toleran sejak dalam pikiran.
Istilah toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti membiarkan seseorang/kelompok yang yang berpikiran lain atau ber pandangan lain tanpa dihalang-halangi. Mengizinkan  seseorang atas dasar kerelaan dan kehendak seseorang.
Ditinjau dari kacamata sejarah, Andreas A. Yewangoe membedakan toleransi kedalam toleransi formal dan toleransi material. Toleransi formal berarti membiarkan pandangan dan praktik yang berbeda dengan kita sejauh itu tidak mengganggu. Sementara toleransi material bermakna suatu pengakuan terhadap nilai-nilai positif yang mungkin terkandung dalam pemahaman yang berbeda itu.
Pendidikan Pluralisme
Di Indonesia kita membutuhkan pendidikan pluralisme yang sungguh-sungguh mampu menghantarkan anak didik untuk menghargai perbedaan sebagai suatu nilai positif, rahmat.
Mengutip pedapat Franz Magnis Suseno, ia menyatakan pendidikan pluralisme sebagai suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid atau lebih akrab dengan sapaan Cak Nur, pluralisme tidak cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan itu sebagai sebuah nilai positif.
Cak Nur menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati.
Misalkan dalam kehidupan beragama, menyadari bahwa pluralitas agama dan umat beragama adalah suatu kenyataan (sunatullah). Maka menjaga kerukunan antar umat beragama bukan tanggungjawab salah satu pemeluk agama aja, melainkan tugas dan tanggung jawab semua umat beragama.
Dalam ajaran Islam, hubungan antar umat beragama sangat bergantung pada penyikapan umat lain. Sekiranya, mereka (non muslim) bersikap keras bahkan memerangi maka wajib membela diri, begitupun sebaliknya. Itulah sikap adil dalam beragama, saya pikir umat lain pun sama demikian.
Pertemuan tokoh-tokoh lintas agama sebagaimana yang terjadi kemarin di Istana Negara diharapkan menemukan titik temu (kalimatun sawa) demi terwujudnya Indonesia yang damai. Pertemuan dan dialog tersebut selayaknya bisa dicontoh dan dilakukan oleh akar rumput di masing-masing agama, suku dan ras. Setidaknya hal itu dapat membantu meredakan ketegangan yang kerap mewarnai perjalanan republik ini.
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati tentang interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim.
Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial ialah seluruh suku yang ada di madinah dapat menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
Jika kita tarik dalam kontek ke-Indonesiaan, keberagaman budaya, suku dan agama yang ada di Indonesia juga sangat beragam. Maka proses penyadaran akan keanekaragaman ini perlu terus dikembangkan disetiap lini termasuk lini pendidikan.
Pendidikan pluralism diharapkan dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
Hubungan Mayoritas-Minoritas
Kehidupan manusia dalam bingkai kenegaraan tidak lepas dari yang namanya dominasi mayoritas. Sayangnya, interaksi mayoritas – minoritas ini lebih kerap dipotret dalam bingkai politis sehingga keberadaannya sering memicu konflik akibat adanya kepentingan sesaat.
Secara umum, Griffiths menyatakan bahwa kelompok yang dominan cenderung mempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan mengacaukan status tersebut.
Ketakutan akan kehilangan kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan poteni produktif dari kaum minoritas. Contohnya, pada suatu negara dimana penduduk aslinya yang mayoritas mungkin saja mengabaikan kepentingan penduduk pendatang yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Sebaliknya penindasan oleh minoritas, tirani minoritas, sangat mungkin terjadi. Huang mengemukakan bahwa minoritas yang memiliki kekuasaan bisa menjadi sewenang-wenang. Contohnya adalah kediktatoran. Seorang diktator, meskipun suaranya tidak mencerminkan mayoritas tapi karena kekuasaannya, dia menekan dan mengabaikan kepentingan mayoritas.
Problem mayoritas-minoritas sebagai realitas politik Indonesia sampai saat ini masih menjadi kotak Pandora dalam mitologi Yunani. Menurut mitologi ini, Pandora sejatinya ialah putri ciptaan Hefaistos, seorang Dewa Pandai Besi. Ketika Pandora menikah dengan Epimetheus, mereka dihadiahi sebuah kotak yang indah oleh para dewa. Namun, Pandora dilarang membuka kotak itu. Suatu hari, karena penasaran, Pandora membukanya. Setelah dibuka, terdengar suara gemuruh dari kerumunan sesuatu yang secara cepat terbang keluar. Terlihat pula asap tebal disertai aroma menakutkan memenuhi seluruh ruangan. Pandora sadar telah membuat suatu kesalahan. Ia segera menutup kotak itu tapi terlambat. Aneka keburukan, rasa sakit, penyakit, kelaparan, pencurian dan berbagai malapetaka lain menyebar luas ke seluruh dunia.
Ibarat kotak Pandora tadi, dominasi politik dalam realitas mayoritas-minoritas telah mengundang berbagai keburukan dan kejahatan. Kebencian, caci maki dan marjinalisasi terhadap suatu golongan kini semakin massif, bertebaran di dunia maya.
Dalam perjalanan bangsa ini, kaum mayoritas senantiasa berada pada posisi yang secara politik diuntungkan, tetapi merasa dimarginalkan. Sementara, kaum minoritas selalu merasa didiskriminasi oleh kebijakan rezim politik tertentu yang dikuasai oleh kaum mayoritas.
Oleh karena itu menjadi penting untuk memikirkan bagaimana jalan yang memungkinkan terjadinya rekonsiliasi atau win-win solution yang sama-sama menguntungkan. Interaksi yang mesti dibangun bukanlah saling mendominasi, melainkan bahu membahu demi kesejahteraan bersama.
Dalam sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, terkandung nilai-nilai kemanusiaan, mengakui martabat luhur manusia tanpa mempersoalkan dari golongan mana ia berasal, mayoritas atau minoritas.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajak kembali untuk merenungkan peran sekaligus alasan mengapa Tuhan, Allah SWT, mengutus manusia  sebagai pembawa mandat  menggantikan tugasNya di muka bumi.
Umat manusia berasal dari nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa. Manusia diseru untuk sadar bahwa mereka semuanya setara, berakar dari asal-usul yang sama, apakah mereka pria atau wanita, dan apa pun kebangsaan, asal etnis maupun kesukuannya.
Keragaman masyarakat dan budaya manusia merupakan anugerah Tuhan. Manusia diberikan kemerdekaan untuk berpikir dan bertindak sesuai sifat kemanusiaannya. Realitas seperti itu seharusnya mengarahkan setiap orang untuk mengakui keberadaan dan saling mengenal dengan baik satu sama lain, berinteraksi dan kerja sama demi manfaat dan kesejahteraan umat manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara, seyogyanya kita lebih mengedepankan sikap elegan sebagai manusia yang diberikan amanah untuk mewakili Tuhan di muka bumi. Maka sifat-sifat ketuhanan  harus dimunculkan, rahmaan dan rahiim nya Tuhan harus nampak dalam diri kita.
Selanjutnya, setiap orang mesti menghindari pelabelan dan stigmatisasi terhadap orang lain, baik itu label yang berbau agama, ras, golongan dan lainnya. Sebab tindakan seperti ini kerap memicu konflik antar etnis maupun agama.
Kita juga perlu mengembangkan sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain. Kita tidak boleh mendiskriminasi seseorang berdasarkan keyakinan yang dianutnya, suku dan rasnya. Mengapa demikian? Karena itu merupakan hukum alam (sunatullah). Seseorang tidak bisa memilih untuk dilahirkan di lingkungan agama, suku dan ras tertentu. Semua itu adalah kehendak Tuhan yang Mahakuasa.
Kita boleh beda pilihan klub sepak bola, beda ormas, beda partai, berbeda dalam bahasa, suku, ras dan agama tetapi pikiran, hati dan jiwa kita adalah Indonesia. Indonesia tetap jadi tanah air kita, Indonesia tetap jadi bahasa pemersatu. Itulah bahasa persatuan dan kesatuan yang telah menjadi sumpah kita bersama. Indonesia.
Dengan cara ini, keragaman mewujud sebagai rahmat, memperkaya pengalaman dan perkembangan manusia serta menjadi pertanda ciptaan dan anugerah Tuhan yang sangat indah, bukan sebagai pembawa atau penyebab konflik.
Free Website Visitors