Tiap hari kita mendengar
orang meneriakan persatuan dan kesatuan. Tetapi di hari yang sama mereka
menolak keberagaman, menolak segala fenomena yang berbeda dengan agendanya. Ironis,
mereka menelantangkan teriakannya sekaligus menodai semangat persatuan dan
kesatuan.
Keberanekaragamman yang ada
di Indonesia merupakan sebuah realitas, kehendak Tuhan. Hal itu telah disadari
sejak lama sehingga lahirlah sumpah pemuda, sumpah untuk bersatu dalam bingkai
ke-Indonesiaan dengan memegang erat semangat persatuan.
Merupakan sebuah mukjizat
bila sumpah itu bertahan dlam waktu yang lama. Melihat dari sisi
keanekaragaman, Indonesia adalah negara kepulauan yang terluas di muka bumi.
Jumlah pulaunya lebih dari 17.000, etnisitas, sub-kultur, dan bahasa lokalnya
ratusan, suatu keniscayaan.
Dari sisi keragaman budaya
ini jika tidak dikelola dengan baik maka bukan hal mustahil bangsa ini terpecah
berkeping-keping. Oleh sebab itu, apa yang bernama politik identitas yang
sering muncul ke permukaan harus ditangani dan dikawal secara bijak oleh nalar
historis secara benar dan cerdas.
Asal-usul suku dan ras
merupakan sunatullah (hukum alam) yang tidak ada seorang manusia pun
bisa mengintervensinya. Kemerdekaan untuk menentukan warna apa yang disukainya,
agama apa yang diyakininya, beserta realitas lainnya. Persatuan merupakan titik
temu antar keanekaragaman.
Secara historis, ide
pembentukan bangsa Indonesia muncul sekitar tahun 1920-an melalui kegiatan
intensif Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda, kemudian dikukuhkan didalam
Sumpah Pemuda tahun 1928. Selanjutnya, hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945,
saat dwi tuggal, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, sebuah
Negara-bangsa baru muncul di peta dunia.
Mengabaikan keberagaman
merupakan tindakan ahistoris sekaligus mengancam soliditas bangsa yang telah
lama dijaga dan dikawal bersama-sama. Munculnya politik identitas selain
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia juga tidak sejalan dengan
konsensus bersama untuk membangun bangsa di atas lahan multi-identitas.
Yang dibutuhkan saat ini
ialah persatuan dan kesatuan bukan penyeragaman. Seragam agama, suku dan rasya.
Sebab kalau realitasnya satu dan seragam maka sudah tidak perlu lagi kita
membicarakan persatuan dan kesatuan. Kesolidan bangsa Indonesia akan senantiasa
di uji karena realitasnya Indonesia memang beraneka ragam, kaya akan perbedaan.
Persatuan dan kesatuan dapat
dianggap sebagai salah satu pilar yang menentukan kokohnya rumah bersama yang
bernama Indonesia. Jika pilarnya kokoh maka kokoh pula rumahnya, tetapi bila
pilar ini keropos maka sudah bisa kita tebak apa yang akan terjadi pada rumah
bersama tersebut. Oleh sebab itu, persatuan dan kesatuan ini sangat urgen.
Untuk menunjang persatuan
dan kesatuan diperlukanlah suatu sikap kenegarawanan. Sikap ini oleh Emha Ainun
Nadjib, cendekiawan sekaligus budayawan, diibaratkan sebagai seorang empu yang
seluruh jasadnya manunggal bersama kepentingan bangsa. Tidak ada lagi ego
pribadi, bahwa aku-lah yang lebih dari yang lain, tidak ada lagi kepentingan
individu dalam dirinya. Mengakui orang lain sama dengan dirinya sebagai
manusia.
Persatuan dan kesatuan
adalah upaya sungguh-sungguh dari setiap individu yang memerlukan keluasan jiwa
utuk menerima segala realitas yang berbeda dengan dirinya. Mengakui
perbedaan-perbedaan menuntut kita untuk berlaku toleran sejak dalam pikiran.
Istilah toleransi berasal
dari bahasa Latin, tolerare, yang berarti membiarkan seseorang/kelompok
yang yang berpikiran lain atau ber pandangan lain tanpa dihalang-halangi. Mengizinkan
seseorang atas dasar kerelaan dan
kehendak seseorang.
Ditinjau dari kacamata
sejarah, Andreas A. Yewangoe membedakan toleransi kedalam toleransi formal dan
toleransi material. Toleransi formal berarti membiarkan pandangan dan praktik
yang berbeda dengan kita sejauh itu tidak mengganggu. Sementara toleransi
material bermakna suatu pengakuan terhadap nilai-nilai positif yang mungkin
terkandung dalam pemahaman yang berbeda itu.
Pendidikan Pluralisme
Di Indonesia kita
membutuhkan pendidikan pluralisme yang sungguh-sungguh mampu menghantarkan anak
didik untuk menghargai perbedaan sebagai suatu nilai positif, rahmat.
Mengutip pedapat Franz
Magnis Suseno, ia menyatakan pendidikan pluralisme sebagai suatu pendidikan
yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas,
mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita
mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik
perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Sebagaimana dikatakan
Nurcholish Madjid atau lebih akrab dengan sapaan Cak Nur, pluralisme tidak
cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang
majemuk, tapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan
itu sebagai sebuah nilai positif.
Cak Nur menegaskan,
pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak
kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan
berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling
menghormati.
Misalkan dalam kehidupan
beragama, menyadari bahwa pluralitas agama dan umat beragama adalah suatu kenyataan
(sunatullah). Maka menjaga kerukunan antar umat beragama bukan
tanggungjawab salah satu pemeluk agama aja, melainkan tugas dan tanggung jawab
semua umat beragama.
Dalam ajaran Islam, hubungan
antar umat beragama sangat bergantung pada penyikapan umat lain. Sekiranya,
mereka (non muslim) bersikap keras bahkan memerangi maka wajib membela diri,
begitupun sebaliknya. Itulah sikap adil dalam beragama, saya pikir umat lain
pun sama demikian.
Pertemuan tokoh-tokoh lintas
agama sebagaimana yang terjadi kemarin di Istana Negara diharapkan menemukan
titik temu (kalimatun sawa) demi terwujudnya Indonesia yang damai.
Pertemuan dan dialog tersebut selayaknya bisa dicontoh dan dilakukan oleh akar
rumput di masing-masing agama, suku dan ras. Setidaknya hal itu dapat membantu
meredakan ketegangan yang kerap mewarnai perjalanan republik ini.
Piagam
Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban Islam yang menyepakati tentang
interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan
budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim.
Nabi
Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah
ini. Hal penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial ialah seluruh
suku yang ada di madinah dapat menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan
etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
Jika
kita tarik dalam kontek ke-Indonesiaan, keberagaman budaya, suku dan agama yang
ada di Indonesia juga sangat beragam. Maka proses penyadaran akan
keanekaragaman ini perlu terus dikembangkan disetiap lini termasuk lini
pendidikan.
Pendidikan
pluralism diharapkan dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang
demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk
menjadi manusia yang utuh, yaitu generasi yang tidak hanya pandai tetapi juga
bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan
menghormati hak orang lain.
Hubungan Mayoritas-Minoritas
Kehidupan manusia dalam
bingkai kenegaraan tidak lepas dari yang namanya dominasi mayoritas. Sayangnya,
interaksi mayoritas – minoritas ini lebih kerap dipotret dalam bingkai politis
sehingga keberadaannya sering memicu konflik akibat adanya kepentingan sesaat.
Secara
umum, Griffiths menyatakan bahwa kelompok yang dominan cenderung mempertahankan
posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin
akan mengacaukan status tersebut.
Ketakutan
akan kehilangan kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan
menyia-nyiakan poteni produktif dari kaum minoritas. Contohnya, pada suatu
negara dimana penduduk aslinya yang mayoritas mungkin saja mengabaikan
kepentingan penduduk pendatang yang jumlahnya jauh lebih sedikit.
Sebaliknya
penindasan oleh minoritas, tirani minoritas, sangat mungkin terjadi. Huang
mengemukakan bahwa minoritas yang memiliki kekuasaan bisa menjadi
sewenang-wenang. Contohnya adalah kediktatoran. Seorang diktator, meskipun
suaranya tidak mencerminkan mayoritas tapi karena kekuasaannya, dia menekan dan
mengabaikan kepentingan mayoritas.
Problem mayoritas-minoritas
sebagai realitas politik Indonesia sampai saat ini masih menjadi kotak Pandora
dalam mitologi Yunani. Menurut mitologi ini, Pandora sejatinya ialah putri
ciptaan Hefaistos, seorang Dewa Pandai Besi. Ketika Pandora menikah dengan
Epimetheus, mereka dihadiahi sebuah kotak yang indah oleh para dewa. Namun, Pandora
dilarang membuka kotak itu. Suatu hari, karena penasaran, Pandora membukanya.
Setelah dibuka, terdengar suara gemuruh dari kerumunan sesuatu yang secara
cepat terbang keluar. Terlihat pula asap tebal disertai aroma menakutkan
memenuhi seluruh ruangan. Pandora sadar telah membuat suatu kesalahan. Ia segera
menutup kotak itu tapi terlambat. Aneka keburukan, rasa sakit, penyakit,
kelaparan, pencurian dan berbagai malapetaka lain menyebar luas ke seluruh
dunia.
Ibarat kotak Pandora tadi,
dominasi politik dalam realitas mayoritas-minoritas telah mengundang berbagai
keburukan dan kejahatan. Kebencian, caci maki dan marjinalisasi terhadap suatu
golongan kini semakin massif, bertebaran di dunia maya.
Dalam perjalanan bangsa ini,
kaum mayoritas senantiasa berada pada posisi yang secara politik diuntungkan,
tetapi merasa dimarginalkan. Sementara, kaum minoritas selalu merasa
didiskriminasi oleh kebijakan rezim politik tertentu yang dikuasai oleh kaum
mayoritas.
Oleh karena itu menjadi
penting untuk memikirkan bagaimana jalan yang memungkinkan terjadinya rekonsiliasi
atau win-win solution yang sama-sama menguntungkan. Interaksi yang mesti
dibangun bukanlah saling mendominasi, melainkan bahu membahu demi kesejahteraan
bersama.
Dalam sila kedua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, terkandung nilai-nilai kemanusiaan, mengakui
martabat luhur manusia tanpa mempersoalkan dari golongan mana ia berasal,
mayoritas atau minoritas.
Sebagai penutup tulisan ini,
saya ingin mengajak kembali untuk merenungkan peran sekaligus alasan mengapa
Tuhan, Allah SWT, mengutus manusia sebagai
pembawa mandat menggantikan tugasNya di
muka bumi.
Umat manusia berasal dari
nenek moyang yang sama yaitu Adam dan Hawa. Manusia diseru untuk sadar bahwa
mereka semuanya setara, berakar dari asal-usul yang sama, apakah mereka pria
atau wanita, dan apa pun kebangsaan, asal etnis maupun kesukuannya.
Keragaman masyarakat dan
budaya manusia merupakan anugerah Tuhan. Manusia diberikan kemerdekaan untuk
berpikir dan bertindak sesuai sifat kemanusiaannya. Realitas seperti itu
seharusnya mengarahkan setiap orang untuk mengakui keberadaan dan saling
mengenal dengan baik satu sama lain, berinteraksi dan kerja sama demi manfaat
dan kesejahteraan umat manusia.
Dalam konteks kehidupan
bernegara, seyogyanya kita lebih mengedepankan sikap elegan sebagai manusia
yang diberikan amanah untuk mewakili Tuhan di muka bumi. Maka sifat-sifat
ketuhanan harus dimunculkan, rahmaan
dan rahiim nya Tuhan harus nampak dalam diri kita.
Selanjutnya, setiap orang
mesti menghindari pelabelan dan stigmatisasi terhadap orang lain, baik itu
label yang berbau agama, ras, golongan dan lainnya. Sebab tindakan seperti ini
kerap memicu konflik antar etnis maupun agama.
Kita juga perlu mengembangkan
sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain. Kita
tidak boleh mendiskriminasi seseorang berdasarkan keyakinan yang dianutnya,
suku dan rasnya. Mengapa demikian? Karena itu merupakan hukum alam (sunatullah).
Seseorang tidak bisa memilih untuk dilahirkan di lingkungan agama, suku dan ras
tertentu. Semua itu adalah kehendak Tuhan yang Mahakuasa.
Kita boleh beda pilihan klub
sepak bola, beda ormas, beda partai, berbeda dalam bahasa, suku, ras dan agama
tetapi pikiran, hati dan jiwa kita adalah Indonesia. Indonesia tetap jadi tanah
air kita, Indonesia tetap jadi bahasa pemersatu. Itulah bahasa persatuan dan
kesatuan yang telah menjadi sumpah kita bersama. Indonesia.
Dengan cara ini, keragaman
mewujud sebagai rahmat, memperkaya pengalaman dan perkembangan manusia serta
menjadi pertanda ciptaan dan anugerah Tuhan yang sangat indah, bukan sebagai
pembawa atau penyebab konflik.