• Terbaru

    Tuesday, 12 February 2013

    Thaharah



    1.         Pengertian Thaharah
    Thaharah secara bahasa berarti suci dan bersih “an-nazhafah wa an-nadhafah” atau bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis maupun yang bersifat maknawiyah seperti aib. Adapun secara syar’i thaharah adalah menghilangkan hal-hal yang dapat menghalangi berupa kotoran, hadast atau  najis dengan  menggunakan air dan sebagainya. Sedangkan untuk mengangkat najis harus dengan tanah. Sedangkan thaharah menurut istilah fuqaha ialah bersuci dari hadast dan najasay yang menyebabkan pelakunya boleh melaksanakan salat.
    Dari beberapa pengertian diatas kita dapat menyimpulkan bahwa thaharah memiliki tiga makna yaitu:
    1.        Mensucikan diri dari hadast, baik hadast kecil maupun hadast besar
    2.        Mensucikan tempat dan pakaian dari kotoran/najis
    3.        Berfungsi untuk memperbolehkan pelakunya melakukan salat.
    2.         Jenis Thaharah
    1.        Thaharah Lahiriyah disebut juga suci dari najis, mencakup kebersihan tubuh, pakaian, tempat shalat dan segala yang najis. Najis adalah sesuatu yang datang dari dalam diri (tubuh) manusia ataupun dari luar manusia, yang dapat menyebabkan tidak sahnya badan, pakaian, atau tempat untuk dipakai beribadah. Najis dapat dibedakan menjadi tiga:
    a)    Najis Mukhaffafah (najis ringan): misalnya air kecing bayi yang belum berumur 2 tahun dan belum makan apa pun selain air susu ibu. 
    b)   Najis Mutawasithah (najis sedang):
    a.    Hukmiyah: benda suci yang terkena benda najis dan masih bisa disucikan (dengan air, dll.).
    b.    Ainiyah: benda yang pada asalnya dihukumi najis dan tidak bisa disucikan.
    c)    Najis Mughalladhoh (najis berat): misalnya air liur/air kencingnya anjing atau babi, dan atau keturunanya[1].

    2.        Thaharah Hukmiyah disebut juga suci dari  hadats, meliputi wudhu, mandi dan tayamum[2]. Hadats adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak sah melakukan ibadah tertentu seperti shalat. Hadast dapat dibedakan menjadi dua:
    a)      Hadats Kecil: segala sesuatu yang membatalkan wudhu’, seperti kentut, kencing, buang air besar, dll.
    b)      Hadats Besar: sesuatu yang menyebabkan mandi besar, seperti mimpi basah, bersetubuh, haidh, dan nifas.

    3.         Alat untuk Thaharah
    1.    Air
    Setiap air yang turun dari langit atau keluar dari perut bumi adalah air yang menempati asal penciptaannya. Maka hukum air tersebut adalah suci dan menyucikan dari segala hadats dan kotoran  meskipun sudah mengalami perubahan rasa atau warna atau baunya oleh sebab sesuatu yang bersih.
    . Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
    Sesungguhnya air itu dapat menyucikan. Yang tidak bisa dibuat najis oleh sesuatupun.” (HR. Abu Dawud).
    Di antara macam-macam air tersebut adalah air hujan, mata air, air sumur, air sungai, air lembah, air salju yang mencair, dan air laut. Sehubungan dengan air laut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    Air laut itu bisa menyucikan dan bangkainya pun halal.” (H.R. Abu Dawud)
    Adapun berkenaan dengan air zam zam telah ditetapkan oleh suatu hadits dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meminta dibawakan satu timba dari air zam zam, lalu air tersebut beliau pakai untuk minum dan untuk berwudu. (HR. Imam Ahmad). Akan tetapi apabila air itu telah berubah warna, rasa, atau baunya yang disebabkan oleh benda najis, menurut ijma’ (kesepakatan) para ulama, air itu pun najis yang harus dihindari yang artinya tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci.
    1.    Tanah
    Thaharah ini merupakan rukhsah dari thaharah dengan air oleh sebab tidak memungkinkan bersuci dengan menggunakan air pada bagian-bagian yang harus disucikan atau karena tidak adanya air, atau karena takut bahaya yang ditimbulkan jika menggunakan air sehingga bisa digantikan dengan tanah yang suci. Bersuci dengan tanah ini disebut dengan  istilah tayamum.
       Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’ : 43)


    [1] Ujang Dedih Ar. Fiqih Ibadah. Hal. 31
    [2] Ujang Dedih Ar. Fiqih Ibadah. Hal. 13 - 15
    Free Website Visitors