Thursday, 15 June 2017

Puasa, Kebutuhan dan Naik Tingkat

Kaum muslim diseluruh dunia tengah menjalani training tahunan, ibadah di bulan penuh rahmat dan ampunan yakni Ramadhan. Dalam kurun waktu satu bulan ini, umat muslim diwajibkan untuk berpuasa, menahan lapar dan dahaga mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. 
Bulan ini terasa spesial sebab didalamnya terdapat perlakuan istimewa dari Allah SWT. Misalnya dilipatgandakannya pahala ibadah kita, diampuninya dosa-dosa yang telah dilakukan oleh manusia, serta perlakuan-perlakuan spesial lainnya.  
Tak heran bila banyak umat muslim berbondong-bondong pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah, tadarus al-Qur’an maupun i’tikaf. Fenomena demikian jarang kita jumpai pada hari-hari biasa, terutama di kota-kota besar. 
Suasana religius semakin terasa manakala waktu mendekati adzan magrib. Mereka (orang-orang yang berpuasa) bersiap untuk berbuka. Anak-anak, remaja sampai lansia berbondong-bondong pergi ke mesjid, ibu-ibu dan anak perempuan sibuk menyiapkan hidangan. Shalawatan dan murotal al-Qur’an dikumandangkan dari masjid-masjid. 
Selepas shalat Isya, aktivitas umat muslim dilanjtkan dengan tarawih berjamaah dan tadarusan. Suasana khas bulan ramadhan ini menjadi kerinduan tersendiri dalam benak umat muslim, sehingga kita ingin melaksanakannya dari tahun ke tahun. 
Pada dasarnya, puasa tidak saja milik umat muslim, melainkan mereka yang beragama Nasrani, Yahudi bahkan agama lainnya pun menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana kita ketahui bahwa agama-agama samawi tersebut berasal dari Allah SWT. 
Mengapa puasa itu diwajibkan oleh Allah SWT, bahkan kepada umat sebelum nabi Muhammad? Mengutip pendapatnya Jalaludin rakhmat, setidaknya ada dua alasan mengapa puasa disyariatkan kepada pemeluk agama samawi. 
Pertama, puasa adalah wahana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada hari-hari biasa kita sering disibukkan oleh urusan duniawi. Kita lupa untuk apa diciptakan ke dunia ini. Sementara, di bulan ramadhan ini kita menemukan kembali momentum untuk mendekat kepada Allah SWT. 
Kedua, dilihat dari kebutuhan manusia, puasa dapat memenuhi kebutuhan spiritual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan paling tinggi dalam kehidupan manusia. 

Puasa dalam Persfektif Kebutuhan Manusia
Manusia terdiri dari aspek jasmani dan rohani. Maka, selain pemenuhan akan kebutuhan yang bersifat fisikal, manusia pun memerlukan kebutuhan lain agar hidupnya menjadi seimbang. Abraham Maslow menggambarkan kebutuhan manusia dalam sebuah piramida kebutuhan, dimana semakin tinggi piramida semakin abstrak kebutuhannya.
Pada tingkat paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum. Ia hanya memenuhi kebutuhan biologisnya. Bila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik ke level selanjutnya yaitu kebutuhan akan kasih sayang, kenyamanan, ketentraman dan rasa aman. 
Lebih tinggi lagi ia akan berusaha untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan. Diatas itu terdapat kebutuhan mengaktualisasikan diri dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan sosial di tempat ia bekerja atau di lingkungan tempat tinggalnya. 
Kebutuhan yang paling tinggi ialah kebutuhan spiritual/ruhaniah. Kebutuhan tingkat ini diyakini mampu mendatangkan ketentraman tersendiri dalam diri seseorang. Hanya orang-orang yang sudah mencapai level ini yang dapat merasakan kedamaian dan kenikmatan tersebut. 
Dalam kurun satu bulan ini lah umat Islam dilatih untuk move up, mengembangkan diri, hijrah dari sekedar pemenuhan jasmaniah. Kita (orang yang berpuasa) diajak untuk beranjak dari tingkat oral ke tingkat tertinggi, kedamaian dan ketentraman.
Sigmund Freud, psikolog, menjelaskan kesenangan manusia pada periode awal yakni masa anak-anak terletak pada mulutnya. Kalau ia lapar, ia makan, ia haus, ia segera minum. Saat itu pula kebutuhannya terpenuhi dengan kesenangan pada makan dan minum. Anak-anak menemukan kenikmatannya ketika ia memasukan sesuatu pada mulutnya. Kesenangan demikian ia peroleh saat ibunya menyusuinya. 
Seiring berkembangnya fisik anak maka kenikmatanya pun berkembang pada periode anal lalu periode genital. Semua kebutuhan tersebut bersifat jasmaniah, tidak ada  pada masa itu kebutuhan akan ruhaniah. Memasuki masa dewasa, kebutuhan manusia bergeser pada kebutuhan yang bersifat abstrak seperti kebutuhan akan ilmu pengetahuan, informasi, pengakuan, dan aktualisasi diri. 
Mengutip pernyataannya Sigmun Freud bahwa banyak orang yang mengalami stuck alias hanya mengutamakan pada kebutuhan jasmaniahnya saja manakala ia memasuki masa dewasa. Inilah yang dia sebut sebagai suatu hambatan atau fiksasi. 
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa di bulan puasa ini kita diajak untuk naik level dari tingkat anal-oral-genital ke tingkat ruhaniah. Inilah salah satu training dari Allah SWT agar manusia mencapai puncak kemuliaan.
Inilah bulan tarbiyah, a training month,  bagi umat muslim. Bagi yang kepribadiannya tidak mengalami fiksasi, seseorang yang sudah sampai pada tingkat tertinggi, mampu mengontrol dan mengendalikan tubuhnya sendiri. 
Orang-orang yang berpuasa, setidaknya diharapkan dapat mengendalikan hawa nafsu. Yakni keinginan-keinginan destruktif (merusak). Sebenarnya, hari-hari yang kita lalui senantiasa dihadapkan pada dua pilihan. Menaati keinginan Allah atau menuruti tuntutan diri kita.
Saat lapar dan haus, tubuh kita menuntut untuk makan dan minum. Saat itu pula, kita juga mudah sekali tersinggung. Allah ingin orang yang berpuasa untuk dapat menahan hal-hal yang dapat merusak ibadah puasa tersebut.  
Mereka diajak untuk menahan keburukan akibat hawa nafsu. Menahan diri dari menggunjing, memfitnah, menyebarkan berita bohong. Menahan dari hal-hal yang dapat mengurangi nilai kemuliaan manusia. Menahan dari sesuatu yang destruktif.
Orang-orang yang yang menuruti keinginan Allah tidak akan makan dan minum saat puasa, juga senantiasa menahan hawa nafsunya. Mereka selalu menaati aturan Allah SWT. Mungkin inilah yang disebutkan al-Qur’an sebagai kelompok muttaqien. Kelompok yang damai dan tentram jiwanya sebab hidupnya tak bergantung pada kesenangan duniawi.
 Tujuan diwajibkannya puasa itu sendiri tiada lain agar umat muslim menjadi bertakwa. Selain itu, kebiasaan-kebiasaan puasa ini diyakini dapat berefek pada kehidupan sosial. Kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi saat ini bangsa kita sedang menghadapi upaya provokasi melalui berita-berita bohong (hoax).
Kebiasaan menahan diri dari hal-hal yang merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Kebiasaan diri untuk tidak menyakiti umat lain. Berhenti mendiskriminasi orang berdasar suku, ras dan agama. Itulah makna takwa sebagai hasil dari pembersihan jiwa selama puasa. 
Tentu hal ini juga tidak lepas dari hidayah Allah SWT. Semoga Allah memberkati, mengampuni semua kekhilafan, membimbing kita untuk menjadi pribadi lebih baik. Puasa yang kita jalankan di bulan Ramadhan 1438 Hijriyah ini menjadi puasa terbaik yang mampu menjadikan diri kita sebagai golongan muttaqien.

Free Website Visitors