• Terbaru

    Sunday, 15 January 2017

    Memberikan definisi yang fair terhadap sekulerisme



    Pada beberapa masyarakat, definisi sekulerisme diartikan sebagai pemisahan antara wilayah agama dan negara, sakral dan profan, pribadi dan publik, sehingga orang menjadi paranoid terhadap kata yang berbau sekuler karena di anggap sebagai suatu paham anti-agama, menolak agama atau memarjinalkan agama. Adalah sah dan wajar jika sebuah istilah memiliki definisi berbeda-beda seusai strata pendidikan kelompok atau orang yang mendefinisikannya. Sebab, realitasnya sebuah konsep atau istilah memang melingkupi perbagai unsur dan aspek, maka wajar jika satu kelompok menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lainnya[1]. Yang tidak fair manakala memaksakan definisi tersebut kepada orang lain tanpa melalui sebuah kajian atau diskusi terlebih dahulu, apalagi jika berimplikasi pada hak, kewajiban dan kedudukan seseorang.
    Sebenarnya, yang membuat banyak masyarakat antipati terhadap kata sekulersme ialah pendefinisiannya sebagai paham yang memisahkan antara agama dan aspek kehidupan lainnya. Hal ini muncul karena agama dianggap sebagai sesuatu yang absolut dan totaliter-cenderung memaksakan- manakala masuk pada ranah publik. Persepsi ini timbul jika kita membaca sejarah agama-agama Barat beserta lembaga keagamaannya yang cenderung totaliter. Lain hal dengan yang terjadi di Timur, terutama di kalangan pemeluk agama Islam, bahwa doktrin Islam yang menghargai pluralitas keagamaan menjadi bertentangan dengan ketotaliteran doktrin agama tersebut.
    Dengan demikian dapat kita pahami bahwa sekulerisme di Barat merupakan gerakan perlawanan atas ketotaliteran sebuah institusi keagamaan. Oleh karena itu, tidak tepat jika kita mengadopsi bulat-bulat sebuah konsep tanpa melihat, mengkaji aspek-aspek yang menyertainya. Definisi sekulerisme yang menurut hemat saya cocok dalam konteks ke-Indonesiaan ialah sebagaimana yang di ungkapkan oleh Nur Ahmad Fadhil Lubis bahwa sekulerisme ialah pembedaan antara wilayah individu dan sosial, sakral dan profan, agama dan negara. Sehingga tidak mencampuradukan urusan pribadi dan publik, menarik agama dari politik, ekonomi, sosial dan budaya.


    [1] Nur Ahmad Fadhil Lubis dkk. 2015. Membela Kebebasan Beragama Buku 4. Hal. 1336
    Free Website Visitors