Hoax
atau informasi palsu merupakan isu yang hangat diperbincangkan
akhir-khir ini. Hal ini tidak heran karena di era globalisasi dimana setiap
orang berhak dan bias mengakses informasi, maka informasi yang muncul di
internet tidak semuanya valid. Arus informasi tidak mungkin bias di kontrol
karena setiap orang mempunyai akses terhadap dunia maya. Semakin banyak yang
mempunyai aksesa internet semakin bertambah banyak pula berita dan informasi
yang bisa kita peroleh akan tetapi tidak menjamin kesemuanya itu menyebarkan
berita benar. Maka tidak heran apabila semakin cepat pula sebuah berita palsu
menyebar. Kemudahan menyebarnya sebuah berita dan informasi tidak lepas dari
adanya komunitas dunia maya yang sangat aktif beraktivitas di grup chat
baik di Whatsapp, BBM, Facebook dan yang lainnya. Masifnya penyebaran hoax tidak
lepas juga karena kurangnya budaya literasi dari pembaca sehingga kebenaran
dari berita yang disebarkan tersebut seolah dihiraukan, yang penting terlihat update
dimata orang lain.
Menurut
Robert Nares Hoax berasal dari kata "Hocus", yang berarti
menipu. Hocus sendiri merupakan mantra sulap yang merupakan kependekan
dari "Hpcus Pocus" (brilio.net, 01/03). Sedangkan secara
epistimologi, hoax adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk
mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah
satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang
atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian
sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap;
dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan
pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu
(Wikipedia.com, 01/03).
Sudah
selayaknya, sebagai pembaca yang bijak, setiap informasi yang kita peroleh
sebaiknya diperiksa terlebih dahulu kebenarannya, jangan mudah untuk
menyebarkan berita dan informasi yang diperoleh karena bisa jadi berita
tersebut merupakan sebuah kebohongan. Akibatnya kita menanggung dosa lantaran
ikut menyebarkan berita palsu.
Menurut
Ismail, Hoax sangat mungkin disebarkan secara sengaja oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan motif ekonomi. Semakin banyak orang yang mengakses
informasi ini, semakin banyak pula klik yang dihasilkan sehingga mendatangkan
uang atau disebut dengan “clickbait’. “Informasi hoax atau bukan, asal menghasilkan
banyak klik,”. Selain itu, masifnya hoax
karena faktor kedekatan informasi dengan masyarakat. Sebab jika hoax hanya
menyentuh kalangan tertentu maka penyebaran beritanya tidak akan massif. (majalahkartini.co.id).
Terlebih lagi berita yang berkaitan dengan sensitive SARA sangat mudah
tersebar.
Berikut
merupakan beberapa hal yang wajib kita lakukan untuk mendeteksi apakah sebuah
berita itu asli atau palsu (hoax).
1.
Melakukan pengecekan
terhadap sumber informasi dan berita yang diterima
Sangat banyak kita temui berita provokatif,
berbau SARA, dan sejenisnya. Berita semacam itu sering juga menyusuo ke
grup-grup chating di media social. Kita bias mengecek kebenaran nya
lewat mesin pencari seperti Google, Yahoo, Bing dan lain-lain. Setelah itu
pastikan bahwa sumber berita tersebut meruakan situs yang kredibel dan popular.
2. Mencek Gambar, Foto, Meme
Langkah ini bisa kita lakukan dengan cara
mengecek gambar yang diperoleh melalui Google Image di Browser lalu periksa
apakah gambar tersebut benar atau tidak, serta sumber nya kredibel atau tidak.
3. Mengetahui Penulis Berita
Berita palsu seringkali tidak mencantumkan nama penulis
berita nya sehingga jika kita mendapatkan berita dan informasi yang tidak
mencantumkan nama penulis maka hal tersebut perlu kita curigai kebenarannya.
Demikian tiga langkah tersebut
yang bias kita lakukan untuk mencegah menjamurnya berita palsu. Semoga bermanfaat.
Diolah dari berbagai sumber.